Minggu, 08 November 2015

Pribadi To Do, To Have, atau To Be?



“Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain.” (Victor Hugo)
Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.
Ada masa di mana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.
Fase pertama, fase to do. Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.
Nah, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.
Tapi, dua tahun berlalu, tapi bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, “Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis.” Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?
Fase kedua, fase to have. Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.
Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Sentra-sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.
Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.
Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.
Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. “Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya…,” katanya.
Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.
Fase ketiga, fase to be. Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.
Memaknai hidup
Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.
Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.
Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan “Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?”
Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India.
Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!


Sabtu, 07 November 2015

ANAK CACAT



“Huuu….uuura!”
Teriakan gembira dari seorang Ibu yang menerima telegram dari anaknya yang telah bertahun-tahun menghilang. Apalagi ia adalah anak satu-satunya. Maklumlah anak tersebut pergi ditugaskan perang ke Vietnam pada 4 tahun yang lampau dan sejak 3 tahun yang terakhir, orang tuanya tidak pernah menerima kabar lagi dari putera tunggalnya tersebut. Sehingga diduga bahwa anaknya gugur dimedan perang. Anda bisa membayangkan betapa bahagianya perasaan Ibu tersebut. Dalam telegram tersebut tercantum bahwa anaknya akan pulang besok.
Esok harinya telah disiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan putera tunggal kesayangannya, bahkan pada malam harinya akan diadakan pesta khusus untuk dia, dimana seluruh anggota keluarga maupun rekan-rekan bisnis dari suaminya diundang semua. Maklumlah suaminya adalah Direktur Bank Besar yang terkenal diseluruh ibukota.
Siang harinya si Ibu menerima telepon dari anaknya yang sudah berada di airport.
Si Anak: “Bu bolehkah saya membawa kawan baik saya?”
Ibu: “Oh sudah tentu, rumah kita cuma besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan-segan bawalah!”
Si Anak: “Tetapi kawan saya adalah seorang cacad, karena korban perang di Vietnam?”
Ibu: “……oooh tidak jadi masalah, bolehkah saya tahu, bagian mana yang cacad?” – nada suaranya sudah agak menurun
Si Anak: “Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!”
Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena si Ibu tidak mau mengecewakan anaknya: “Asal hanya untuk beberapa hari saja, saya kira tidak jadi masalah?”
Si Anak: “…tetapi masih ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga turut rusak begitu juga kulitnya, karena sebagian besar hangus terbakar, maklumlah pada saat ia mau menolong kawannya ia menginjak ranjau, sehingga bukan tangan dan kakinya saja yang hancur melainkan seluruh wajah dan tubuhnya turut terbakar!”
Si Ibu dengan nada kecewa dan kesal: “Na…ak lain kali saja kawanmu itu diundang kerumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel, kalau perlu biar saya yang bayar nanti biaya penginapannya!”
Si Anak: “…tetap ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!”
Si Ibu: “Cobalah renungkan olehmu nak, ayah kamu adalah seorang konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu para pejabat tinggi maupun orang-orang penting yang berkunjung kerumah kita, apalagi nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan akan dihadiri oleh seorang menteri, apa kata mereka apabila mereka nanti melihat tubuh yang cacad dan wajah yang rusak. Bagaimana pandangan umum dan bagaimana lingkungan bisa menerima kita nanti? Apakah tidak akan menurunkan martabat kita bahkan jangan-jangan nanti bisa merusak citra binis usaha dari ayahmu nanti.”
Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari anaknya telepon diputuskan dan ditutup.
Orang tua dari kedua anak tersebut maupun para tamu menunggu hingga jauh malam ternyata anak tersebut tidak pulang, ibunya mengira anaknya marah, karena tersinggung, disebabkan temannya tidak boleh datang berkunjung kerumah mereka.
Jam tiga subuh pagi, mereka mendapat telepon dari rumah sakit, agar mereka segera datang kesana, karena harus mengidetifitaskan mayat dari orang yang bunuh diri. Mayat dari seorang pemuda bekas tentara Vietnam, yang telah kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun telah rusak karena kebakar. Tadinya mereka mengira bahwa itu adalah tubuh dari teman anaknya, tetapi kenyataannya pemuda tersebut adalah anaknya sendiri! Untuk membela nama dan status akhirnya mereka kehilangan putera tunggalnya!
Kita akan menilai bahwa orang tua dari anak tersebut kejam dan hanya mementingkan nama dan status mereka saja, tetapi bagaimana dengan diri kita sendiri? Apakah kita lain dari mereka?
Apakah Anda masih tetap mau berkawan
……. dengan orang cacad?
……..yang bukan karena cacad tubuh saja?
……. tetapi cacad mental atau
……..cacad status atau cacad nama atau
……..cacad latar belakang kehidupannya?
Apakah Anda masih tetap mau berkawan dengan orang
…….yang jatuh miskin?
…… yang kena penyakit AIDS?
…….yang bekas pelacur?
…….yang tidak punya rumah lagi?
…….yang pemabuk?
…….yang pencandu?
…….yang berlainan agama?
Renungkanlah jawabannya hanya Anda dan Sang Pencipta saja yang mengetahunya?!
Dan yang paling penting adalah “SIKAP” Kita dalam memandang suatu hal  harus kita ubah menjadi yang lebih baik atau lebih positif.
Karena dengan sikap positif secara otomatis akan menumbuhkan sikap rendah hati, peduli terhadap orang lain dan tentunya hal-hal lain yang lebih baik.

Kamis, 05 November 2015

HADIAH ISTIMEWA




“Terkadang kira menganggap hidup orang lain lebih enak, padahal mungkin saja dia lebih sulit, hanya saja dia tidak mengeluh.”
Cinderella.
Setiap bangun di pagi hari, aku berharap aku menjadi Cinderella. Tapi hal itu tak pernah terjadi. Kukucek mataku dan kutatap cermin meja rias.
Aku adalah aku.
Tidak ada yang berubah.
Aku berjalan seperti biasa melewati tanah lapang yang nenperlihatkan segarnya rumput-rumput hijau. Kakiku akhirnya menapak di sebuah halte bus. Dengan peluh yang bercucuran, aku berdiri di pinggir halte menunggu bus yang akan mengantarku menuju kampus. Semoga hari ini tidak terlambat lagi.
Kudekap erat sebuah bungkusan berpita ungu yang sudah sangat rapi di dalam tanganku. Hari ini, aku akan mengunjungi Terre. Seulas senyum berkembang di bibirku. AKu bahkan tidak peduli juka harus terlambat datang ke kampus. Mau bagaimana lagi? Jam besuk untuk Terre hanya saat-saat ini.
Tiba-tiba…..
“Duk!!!”
“Aduh….” Seorang anak berusia 10 tahunan menabrakku dan menyambar bungkusan yang kubawa.
Sepersekian detik kemudian barulah aku menyadari, bungkusan yang telah kugenggam hilang, Aku menjerit sekeras mungkin, “Copeeeeeeeet!!!”.
Untungnya, beberapa orang sudah lebih dulu mengejar anak itu. Pikirku, dia adalah seorang anak jalanan dan pengamen. Dia membawa gitar kecil di dalam tasnya yang lusuh. Nasibnya kurang beruntung. Kenapa dia nekat mencuri di tempat seramai ini?
Aku berlari tergopoh-gopoh saat anak itu sudah dikepung oleh warga. Mereka mengembalikan bingkisan milikki. Sudah terkoyak. Sesaat itu juga aku merasa hatiku untuk Terre ikut terkoyak. Anak itu meringkuk ketakutan di tengah kerumunan massa. Ia sempat mengangkat wajahnya. Mata kami saling bersitatap.
Aku tidak punya kata lagi. Anak itu pun hanya diperingatkan oleh warga. Setelah mereka tahu yang dicuri bukanlah barang berharga, warga bubar dengan cepat. Sempat pula ada yang hampir memukuli anak itu, tapi akhirnya suasana cukup terkendali. Barangku kembali saja aku sudah senang. Aku mengucapkan terima kasih pada warga. Seorang bapak mengusir pengamen cilik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tak ingin kupikirkan lagi tentang anak itu.
Terre itu sahabatku. Sudah lama ia divonis sakit leukimia, dan belakangan ini kondisinya semakin tidak baik. Aku hanya bisa melihatnya berbaring lemah di ranjang. hari ini bukan ulang tahun Terre, tapi aku ingin memberinya hadiah. “Ve….” Terre memanggil namaku.
“Aku mengucap syukur atas hidupku… Mungkin tidak lama dan… apa yang kamu beri ini… aku ingin kamu bagikan pada orang lain…” Terre memegang tanganku dengan tangannya yang ringkih. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan masih sama. Itu yang sering diucapkan Terre pada semua orang. Tubuhnya mungkin kini sudah rapuh, tetapi jiwanya tidak.
Aku menunggu di halte bus dengan isi bungkusan yang sama. Hanya saja aku mengganti bungkusnya dengan yang baru.
Aku menunggu dan menunggu. Berbagai macam bus sudah lewat tapi tidak satupun yang kunaiki. Aku sedang menunggu anak pengamen yang menjambretku tempo hari. Mungkin dia sudah tidak berani lagi kemari.
Tak kusangka… Ternyata aku masih bisa bertemu dengan anak itu. Ia sedang mengantongi beberapa koin kedalam saku celananya. Kembali kami bersitatap.
“Hei!…” panggilku pada anak itu.
“Ada apa mbak?” tanya anak itu tanpa rasa takut.
“Ini” aku menyodorkan bungkusan yang seharusnya menjadi milik Terre. Air mataku hampir tumpah tapi aku berhasil menahannya sekuat hati.
“Sahabatku ingin kamu memilikinya…”
Anak jalanan itu menerima bungkusan yang kuberikan. Dibukanya di tempat itu juga. Akupun dapat melihat di depan mataku. Anak itu sangat senang menerima topi yang kuberikan.
Ya, topi. Pemberian sederhana yang berarti besar. Rambut Terre mulai rontok. Tapi aku ingin dia tetap gembira dan bergaya dengan topi. Nyatanya bermaksud menolak tapi Terre merasa tidak membutuhkan topi. Akupun tidak merasa tersinggung. Dia tidak ingin pakai topi,tidak ingin pakai wig. Dia tidak malu jika orang melihat rambutnya yang gundul dan Terre tidak marah pada Tuhan.
Kini topi itu diberikan Terre untuk orang yang tepat. Jadi sianak jalanan itu tidak akan teralu kepanasan di jalan. Terre mengajarku arti pmberian yang sebenarnya,
Aku adalah aku.
Dan aku bukan Cinderella.
Aku bersyukur untuk itu.

PELAJARAN BERHARGA




Saat mengetahuinya, aku sempat tidak percaya adalah orang di sampingku dapat melakukannya. Sejak berpacaran, dia sungguh baik dan sabar walaupun terkadang agak kekanakan. Terhadap keluargapun dia sangat berbakti dengan rela mengorbankan apapun untuk ibu tercinta. Terlahir sebagai anak dari seorang janda, lika liku kehidupan yang keras pun akhirnya harus dijalani akibat perbuatan sang ayah yang tidak bertanggung jawab. Mungkin itulah penyebab dari sikapnya yang agak kasar dan keras, lingkungan telah mengubahnya.
Hari-hari yang kami lalui penuh dengan suka duka kehidupan, susah senang kami lalui dan rasakan bersama karena dia hanyalah berasal dari keluarga yang sangat sederhana, semua beban hidup dan keluarga ditanggungnya, sedangkan aku adalah seorang perantau dari daerah seberang.
Dia memulai karirnya sebagai salesman di suatu perusahaan besar, pada saat usia penjajakan kami sudah mencapai 2 tahun, kami memutuskan untuk menikah dan dalam kurun waktu 2 tahun pula ia telah menunjukkan prestasi yang baik di perusahaan dimana tempat ia bekerja sehingga sekarang telah menjadi seorang manager.
Dia sangat menyukai anak kecil, makanya pada saat pertama kali dia mengetahui bahwa aku hamil, betapa gembiranya ia, dapat terlihat dari tindakannya yang langsung pada saat itu juga pagi-pagi sekali menghubungi pihak keluarga kami, satu-satu dia telpon hanya untuk mengabarkan kehamilanku.
Dia sangat menghargai waktu libur bersamaku terutama sabtu dan minggu, sedari pacaran pun dia tidak mau ada yang mengganggu hari yang baru bisa didapatinya dengan harus melewati 5 hari kerja.
Dia sangat tidak menyukai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perselingkuhan karena dia harus dipaksa untuk melihat dan merasakan sendiri pahitnya kehidupan karenanya, makanya dia tidak pernah merestui apapun bentuknya bila berkaitan dengan kata tersebut.
Itulah sebabnya aku menempatkan dia sebagai seorang suami yang paling setia kepada istrinya, dan aku merasa beruntung sekali menjadi istrinya.
Bahkan kadang-kadang aku berujar dari dalam hati, suamiku adalah contoh bijak untuk suami-suami yang lain.
Tapi hari itu semua predikatnya yang selama ini aku kagumi sirna dalam sekejab. Aku tidak percaya hal tersebut dapat menimpa diriku yang sama sekali tidak perna terpikirkan olehku apalagi membayangkannya.
Ternyata dia berselingkuh dengan seorang wanita yang jauh lebih muda dariku, kira-kira 8 tahun. Pengakuannya sudah 2 minggu hubungan itu dibina. Apapun pembelaannya terhadap hubungan itu, dari tidak ada perasaan apa-apa sampai tidak melakukan apa-apa, aku sudah tidak bisa mencernanya lagi, pikiranku masih terpana pada perbuatannya terhadap penghianatan cinta kami.
Hari itu dia telah mengorbankan jadwal kami pada hari sabtu untuk mengontrolkan kandunganku yang ternyata dinyatakan ada virus rubella. Dia pergi dengan wanita itu dari pagi hingga malam.
Rupanya Tuhan masih ingin menyelamatkan hubungan kami, besoknya wanita itupun menelepon dan diketahui olehku. Percekcokan terjadi sampai akhirnya aku mengucapkan kata-kata yang sangat aku jaga untuk tidak mengatakannya, PERCERAIAN.
Dahulu dia pernah berkata kepadaku bahwa kalau seseorang bisa berubah dalam waktu singkat, adalah hal yang mustahil, kemungkinan besar itu hanyalah berpura-pura kecuali ada sesuatu yang membuat seseorang itu shock.
Yang aku rasakan sekarang ini adalah mungkin karena penyebab kedua itu, SHOCK.
Dia shock dengan akibat dari perbuatannya yang membuat rumah tangga kami hancur. Sekarang dia telah berubah total, benar-benar total sampai akupun serasa tidak lagi mengenali orang yang selama 9 bulan tidur di sampingku. Perubahannya membuatku terheran-heran, takut kalau itu hanya sementara, aku ingin merasakannya untuk selamanya, belaiannya yang lembut, kata-katanya yang manis, panggilan sayangnya yang membuatku merasa tersanjung, aku takut kalau itu hanya sesaat, sikapnya jauh dari sebelumnya. Seperti permintaannya setelah itu, akupun berusaha untuk melupakan penghianatannya meskipun efeknya entah berapa lama baru dapat hilang dari diriku.
Aku menjadi minder, menjadi sangat pemalu, malu dan takut untuk bertemu orang yang kami kenal, murung dan sedih bila sudah tiba hari sabtu, trauma walaupun hanya dengan melihat pakaian yang ia kenakan pada hari itu. Tiba-tiba bisa menangis dan tiba-tiba bisa murung, suka bermimpi buruk dan menangis di tengah malam. Tapi aku masih tetap bersyukur, karena kejadian itu, hubungan kami menjadi lebih baik dari sebelumnya meski kadangkala aku merasa sedih bila ia lupa untuk bersikap lembut, aku bahkan menganggap sifat asli dari dirinya adalah kelembutan, jadi bila kelembutan itu terlupakan olehnya, aku berusaha untuk menghibur diri bahwa lembut adalah aslinya sedangkan kasar adalah bukan.
Aku mengatakan pada diriku sendiri, beri dia kesempatan untuk memperbaikinya, jangan memojokkannya, beri dia kepercayaan dan dorongan bahwa dia mampu untuk memperbaikinya. Sekarang aku selalu berusaha untuk mengintropeksi diri atas kejadian ini, dari buku-buku maupun dari artikel, aku menjadi rajin mencari. Mungkin kemesraan dan kasih sayang kami akan terasa lebih lengkap di hari valentine nanti, aku sudah tidak sabar ingin hari itu cepat-cepat tiba. suamiku mengatakan ada kejutan untukku, sementara aku juga telah menyiapkan kado istimewa untuknya.
Teman, kadangkala kita tidak pernah tahu siapakah dulunya seseorang di depan kita, apakah dia penjahat atau semacamnya, tapi yang terpenting adalah yang sekarang, di depan kita, seorang yang bersahabat dan patut mendapat seonggok pujian. Mencintai tidak selalu memiliki, tetapi bila telah memiliki, hendaknya kita baik-baik menjaga dan mencintainya dengan sepenuh jiwa.

PEJABAT ≠ PENJAHAT

Memang benar, seorang pejabat tentu tidak sama dengan penjahat. Namun bukan tidak mungkin seandainya kedua profesi tersebut disandang...