Minggu, 16 April 2017

PEJABAT ≠ PENJAHAT




Memang benar, seorang pejabat tentu tidak sama dengan penjahat. Namun bukan tidak mungkin seandainya kedua profesi tersebut disandang oleh satu orang. Misalnya, bila seseorang sudah menjadi pejabat , tentu kita beranggapan, atau berharap yang bersangkutan menjadi orang baik dan kalau bisa menjadi tauladan bagi orang-orang di bawahnya. Lalu bagaimana kenyataannya ? tidak begitu bukan ?



Di negeri kita banyak pejabat ( yang mestinya sudah menjadi orang terhormat  ) malah merangkap menjadi  penjahat. Misalnya, sudah  menjadi menteri, masih saja korupsi. sudah punya kekuasaan, masih saja gila kedudukan. Sudah dipercaya, masih juga membuat kebijakan atau mengambil langkah yang merugikan. Akibatnya mereka menjadi tidak terhormat, dan dimusuhi rakyat. Kalau sudah begitu, bisa dibenarkan kalau istilah pejabat disamakan dengan penjahat. Apalagi di negeri kita yang segalanya masih perlu pembenahan. Mulai dari segi penataan hukum, pendidikan, kedisiplinan pemerintah sebagai panutan, keadilan, dan kesejahteraan yang harusnya sudah dikenyam oleh masyarakat bawah sejak silam.

Rakyat hanya bisa menunggu perubahan dan harapan, mudah-mudahan jangan ada lagi pejabat yang merangkap jadi penjahat, atau penjahat yang berkedok pejabat.
Menunggu sesuatu itu rasanya tidak enak, SSSAAAKKKIIIITTTT…..!!!!!!!!!

Minggu, 08 November 2015

Pribadi To Do, To Have, atau To Be?



“Kegembiraan terbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai. Oleh karenanya, kita membagikan cinta bagi orang lain.” (Victor Hugo)
Tidak ada yang bisa menghentikan waktu. Ia terus maju. Umur terus bertambah. Manusia pun mengalami babak-babak dalam hidupnya. Saat masuk fase dewasa, orang memasuki tiga tahapan kehidupan.
Ada masa di mana orang terfokus untuk melakukan sesuatu (to do). Ada saat memfokuskan diri untuk mengumpulkan (to have). Ada yang giat mencari makna hidup (to be). Celakanya, tidak semua orang mampu melewati tiga tahapan proses itu.
Fase pertama, fase to do. Pada fase ini, orang masih produktif. Orang bekerja giat dengan seribu satu alasan. Tapi, banyak orang kecanduan kerja, membanting tulang, sampai mengorbankan banyak hal, tetap tidak menghasilkan buah yang lebih baik. Ini sangat menyedihkan. Orang dibekap oleh kesibukan, tapi tidak ada kemajuan. Hal itu tergambar dalam cerita singkat ini. Ada orang melihat sebuah sampan di tepi danau. Segera ia meloncat dan mulailah mendayung. Ia terus mendayung dengan semangat. Sampan memang bergerak. Tapi, tidak juga menjauh dari bibir danau. Orang itu sadar, sampan itu masih terikat dengan tali di sebuah tiang.
Nah, kebanyakan dari kita, merasa sudah bekerja banyak. Tapi, ternyata tidak produktif. Seorang kolega memutuskan keluar dari perusahaan. Ia mau membangun bisnis sendiri. Dengan gembira, ia mempromosikan bisnisnya. Kartu nama dan brosur disebar. Ia bertingkah sebagai orang sibuk.
Tapi, dua tahun berlalu, tapi bisnisnya belum menghasilkan apa-apa. Tentu, kondisi ini sangat memprihatinkan. Jay Abraham, pakar motivasi bidang keuangan dan marketing pernah berujar, “Banyak orang mengatakan berbisnis. Tapi, tidak ada hasil apa pun. Itu bukanlah bisnis.” Marilah kita menengok hidup kita sendiri. Apakah kita hanya sibuk dan bekerja giat, tapi tanpa sadar kita tidak menghasilkan apa-apa?
Fase kedua, fase to have. Pada fase ini, orang mulai menghasilkan. Tapi, ada bahaya, orang akan terjebak dalam kesibukan mengumpulkan harta benda saja. Orang terobesesi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Meski hartanya segunung, tapi dia tidak mampu menikmati kehidupan. Matanya telah tertutup materi dan lupa memandangi berbagai keindahan dan kejutan dalam hidup. Lebih-lebih, memberikan secuil arti bagi hidup yang sudah dijalani. Banyak orang masuk dalam fase ini.
Dunia senantiasa mengundang kita untuk memiliki banyak hal. Sentra-sentra perbelanjaan yang mengepung dari berbagai arah telah memaksa kita untuk mengkonsumsi banyak barang.
Bahkan, dunia menawarkan persepsi baru. Orang yang sukses adalah orang yang mempunyai banyak hal. Tapi, persepsi keliru ini sering membuat orang mengorbankan banyak hal. Entah itu perkawinan, keluarga, kesehatan, maupun spiritual.
Secara psikologis, fase itu tidaklah buruk. Harga diri dan rasa kepuasan diri bisa dibangun dengan prestasi-prestasi yang dimiliki. Namun, persoalan terletak pada kelekatannya. Orang tidak lagi menjadi pribadi yang merdeka.
Seorang sahabat yang menjadi direktur produksi membeberkan kejujuran di balik kesuksesannya. Ia meratapi relasi dengan kedua anaknya yang memburuk. “Andai saja meja kerja saya ini mampu bercerita tentang betapa banyak air mata yang menetes di sini, mungkin meja ini bisa bercerita tentang kesepian batin saya…,” katanya.
Fase itu menjadi pembuktian jati diri kita. Kita perlu melewatinya. Tapi, ini seperti minum air laut. Semakin banyak minum, semakin kita haus. Akhirnya, kita terobsesi untuk minum lebih banyak lagi.
Fase ketiga, fase to be. Pada fase ini, orang tidak hanya bekerja dan mengumpulkan, tapi juga memaknai. Orang terus mengasah kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang semakin baik. Seorang dokter berkisah. Ia terobesesi menjadi kaya karena masa kecilnya cukup miskin. Saat umur menyusuri senja, ia sudah memiliki semuanya. Ia ingin mesyukuri dan memaknai semua itu dengan membuka banyak klinik dan posyandu di desa-desa miskin.
Memaknai hidup
Ia memaknai hidupnya dengan menjadi makna bagi orang lain. Ada juga seorang pebisnis besar dengan latar belakang pertanian hijrah ke desa untuk memberdayakan para petani. Keduanya mengaku sangat menikmati pilihannya itu.
Fase ini merupakan fase kita menjadi pribadi yang lebih bermakna. Kita menjadi pribadi yang berharga bukan karena harta yang kita miliki, melainkan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain.
Hidup kita seperti roti. Roti akan berharga jika bisa kita bagikan bagi banyak orang yang membutuhkan. John Maxwell dalam buku Success to Significant mengatakan “Pertanyaan terpenting yang harus diajukan bukanlah apa yang kuperoleh. Tapi, menjadi apakah aku ini?”
Nah, Mahatma Gandhi menjadi contoh konkret pribadi macam ini. Sebenarnya, ia menjadi seorang pengacara sukses. Tapi, ia memilih memperjuangkan seturut nuraninya. Ia menjadi pejuang kemanusiaan bagi kaum papa India.
Nah, di fase manakah hidup kita sekarang? Marilah kita terobsesi bukan dengan bekerja atau memiliki, tetapi menjadi pribadi yang lebih matang, lebih bermakna dan berkontribusi!


Sabtu, 07 November 2015

ANAK CACAT



“Huuu….uuura!”
Teriakan gembira dari seorang Ibu yang menerima telegram dari anaknya yang telah bertahun-tahun menghilang. Apalagi ia adalah anak satu-satunya. Maklumlah anak tersebut pergi ditugaskan perang ke Vietnam pada 4 tahun yang lampau dan sejak 3 tahun yang terakhir, orang tuanya tidak pernah menerima kabar lagi dari putera tunggalnya tersebut. Sehingga diduga bahwa anaknya gugur dimedan perang. Anda bisa membayangkan betapa bahagianya perasaan Ibu tersebut. Dalam telegram tersebut tercantum bahwa anaknya akan pulang besok.
Esok harinya telah disiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan putera tunggal kesayangannya, bahkan pada malam harinya akan diadakan pesta khusus untuk dia, dimana seluruh anggota keluarga maupun rekan-rekan bisnis dari suaminya diundang semua. Maklumlah suaminya adalah Direktur Bank Besar yang terkenal diseluruh ibukota.
Siang harinya si Ibu menerima telepon dari anaknya yang sudah berada di airport.
Si Anak: “Bu bolehkah saya membawa kawan baik saya?”
Ibu: “Oh sudah tentu, rumah kita cuma besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan-segan bawalah!”
Si Anak: “Tetapi kawan saya adalah seorang cacad, karena korban perang di Vietnam?”
Ibu: “……oooh tidak jadi masalah, bolehkah saya tahu, bagian mana yang cacad?” – nada suaranya sudah agak menurun
Si Anak: “Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!”
Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena si Ibu tidak mau mengecewakan anaknya: “Asal hanya untuk beberapa hari saja, saya kira tidak jadi masalah?”
Si Anak: “…tetapi masih ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga turut rusak begitu juga kulitnya, karena sebagian besar hangus terbakar, maklumlah pada saat ia mau menolong kawannya ia menginjak ranjau, sehingga bukan tangan dan kakinya saja yang hancur melainkan seluruh wajah dan tubuhnya turut terbakar!”
Si Ibu dengan nada kecewa dan kesal: “Na…ak lain kali saja kawanmu itu diundang kerumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel, kalau perlu biar saya yang bayar nanti biaya penginapannya!”
Si Anak: “…tetap ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!”
Si Ibu: “Cobalah renungkan olehmu nak, ayah kamu adalah seorang konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu para pejabat tinggi maupun orang-orang penting yang berkunjung kerumah kita, apalagi nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan akan dihadiri oleh seorang menteri, apa kata mereka apabila mereka nanti melihat tubuh yang cacad dan wajah yang rusak. Bagaimana pandangan umum dan bagaimana lingkungan bisa menerima kita nanti? Apakah tidak akan menurunkan martabat kita bahkan jangan-jangan nanti bisa merusak citra binis usaha dari ayahmu nanti.”
Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari anaknya telepon diputuskan dan ditutup.
Orang tua dari kedua anak tersebut maupun para tamu menunggu hingga jauh malam ternyata anak tersebut tidak pulang, ibunya mengira anaknya marah, karena tersinggung, disebabkan temannya tidak boleh datang berkunjung kerumah mereka.
Jam tiga subuh pagi, mereka mendapat telepon dari rumah sakit, agar mereka segera datang kesana, karena harus mengidetifitaskan mayat dari orang yang bunuh diri. Mayat dari seorang pemuda bekas tentara Vietnam, yang telah kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun telah rusak karena kebakar. Tadinya mereka mengira bahwa itu adalah tubuh dari teman anaknya, tetapi kenyataannya pemuda tersebut adalah anaknya sendiri! Untuk membela nama dan status akhirnya mereka kehilangan putera tunggalnya!
Kita akan menilai bahwa orang tua dari anak tersebut kejam dan hanya mementingkan nama dan status mereka saja, tetapi bagaimana dengan diri kita sendiri? Apakah kita lain dari mereka?
Apakah Anda masih tetap mau berkawan
……. dengan orang cacad?
……..yang bukan karena cacad tubuh saja?
……. tetapi cacad mental atau
……..cacad status atau cacad nama atau
……..cacad latar belakang kehidupannya?
Apakah Anda masih tetap mau berkawan dengan orang
…….yang jatuh miskin?
…… yang kena penyakit AIDS?
…….yang bekas pelacur?
…….yang tidak punya rumah lagi?
…….yang pemabuk?
…….yang pencandu?
…….yang berlainan agama?
Renungkanlah jawabannya hanya Anda dan Sang Pencipta saja yang mengetahunya?!
Dan yang paling penting adalah “SIKAP” Kita dalam memandang suatu hal  harus kita ubah menjadi yang lebih baik atau lebih positif.
Karena dengan sikap positif secara otomatis akan menumbuhkan sikap rendah hati, peduli terhadap orang lain dan tentunya hal-hal lain yang lebih baik.

Kamis, 05 November 2015

HADIAH ISTIMEWA




“Terkadang kira menganggap hidup orang lain lebih enak, padahal mungkin saja dia lebih sulit, hanya saja dia tidak mengeluh.”
Cinderella.
Setiap bangun di pagi hari, aku berharap aku menjadi Cinderella. Tapi hal itu tak pernah terjadi. Kukucek mataku dan kutatap cermin meja rias.
Aku adalah aku.
Tidak ada yang berubah.
Aku berjalan seperti biasa melewati tanah lapang yang nenperlihatkan segarnya rumput-rumput hijau. Kakiku akhirnya menapak di sebuah halte bus. Dengan peluh yang bercucuran, aku berdiri di pinggir halte menunggu bus yang akan mengantarku menuju kampus. Semoga hari ini tidak terlambat lagi.
Kudekap erat sebuah bungkusan berpita ungu yang sudah sangat rapi di dalam tanganku. Hari ini, aku akan mengunjungi Terre. Seulas senyum berkembang di bibirku. AKu bahkan tidak peduli juka harus terlambat datang ke kampus. Mau bagaimana lagi? Jam besuk untuk Terre hanya saat-saat ini.
Tiba-tiba…..
“Duk!!!”
“Aduh….” Seorang anak berusia 10 tahunan menabrakku dan menyambar bungkusan yang kubawa.
Sepersekian detik kemudian barulah aku menyadari, bungkusan yang telah kugenggam hilang, Aku menjerit sekeras mungkin, “Copeeeeeeeet!!!”.
Untungnya, beberapa orang sudah lebih dulu mengejar anak itu. Pikirku, dia adalah seorang anak jalanan dan pengamen. Dia membawa gitar kecil di dalam tasnya yang lusuh. Nasibnya kurang beruntung. Kenapa dia nekat mencuri di tempat seramai ini?
Aku berlari tergopoh-gopoh saat anak itu sudah dikepung oleh warga. Mereka mengembalikan bingkisan milikki. Sudah terkoyak. Sesaat itu juga aku merasa hatiku untuk Terre ikut terkoyak. Anak itu meringkuk ketakutan di tengah kerumunan massa. Ia sempat mengangkat wajahnya. Mata kami saling bersitatap.
Aku tidak punya kata lagi. Anak itu pun hanya diperingatkan oleh warga. Setelah mereka tahu yang dicuri bukanlah barang berharga, warga bubar dengan cepat. Sempat pula ada yang hampir memukuli anak itu, tapi akhirnya suasana cukup terkendali. Barangku kembali saja aku sudah senang. Aku mengucapkan terima kasih pada warga. Seorang bapak mengusir pengamen cilik itu supaya pergi jauh-jauh.
Tak ingin kupikirkan lagi tentang anak itu.
Terre itu sahabatku. Sudah lama ia divonis sakit leukimia, dan belakangan ini kondisinya semakin tidak baik. Aku hanya bisa melihatnya berbaring lemah di ranjang. hari ini bukan ulang tahun Terre, tapi aku ingin memberinya hadiah. “Ve….” Terre memanggil namaku.
“Aku mengucap syukur atas hidupku… Mungkin tidak lama dan… apa yang kamu beri ini… aku ingin kamu bagikan pada orang lain…” Terre memegang tanganku dengan tangannya yang ringkih. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir.
Tuhan masih sama. Itu yang sering diucapkan Terre pada semua orang. Tubuhnya mungkin kini sudah rapuh, tetapi jiwanya tidak.
Aku menunggu di halte bus dengan isi bungkusan yang sama. Hanya saja aku mengganti bungkusnya dengan yang baru.
Aku menunggu dan menunggu. Berbagai macam bus sudah lewat tapi tidak satupun yang kunaiki. Aku sedang menunggu anak pengamen yang menjambretku tempo hari. Mungkin dia sudah tidak berani lagi kemari.
Tak kusangka… Ternyata aku masih bisa bertemu dengan anak itu. Ia sedang mengantongi beberapa koin kedalam saku celananya. Kembali kami bersitatap.
“Hei!…” panggilku pada anak itu.
“Ada apa mbak?” tanya anak itu tanpa rasa takut.
“Ini” aku menyodorkan bungkusan yang seharusnya menjadi milik Terre. Air mataku hampir tumpah tapi aku berhasil menahannya sekuat hati.
“Sahabatku ingin kamu memilikinya…”
Anak jalanan itu menerima bungkusan yang kuberikan. Dibukanya di tempat itu juga. Akupun dapat melihat di depan mataku. Anak itu sangat senang menerima topi yang kuberikan.
Ya, topi. Pemberian sederhana yang berarti besar. Rambut Terre mulai rontok. Tapi aku ingin dia tetap gembira dan bergaya dengan topi. Nyatanya bermaksud menolak tapi Terre merasa tidak membutuhkan topi. Akupun tidak merasa tersinggung. Dia tidak ingin pakai topi,tidak ingin pakai wig. Dia tidak malu jika orang melihat rambutnya yang gundul dan Terre tidak marah pada Tuhan.
Kini topi itu diberikan Terre untuk orang yang tepat. Jadi sianak jalanan itu tidak akan teralu kepanasan di jalan. Terre mengajarku arti pmberian yang sebenarnya,
Aku adalah aku.
Dan aku bukan Cinderella.
Aku bersyukur untuk itu.

PEJABAT ≠ PENJAHAT

Memang benar, seorang pejabat tentu tidak sama dengan penjahat. Namun bukan tidak mungkin seandainya kedua profesi tersebut disandang...